You are currently viewing Suasana Tarawih di Kampungku

Suasana Tarawih di Kampungku

Penulis : Intan Nuraeni

Bulan Ramadan selalu membawa suasana yang berbeda di kampungku, Kp. Pasir Bogor. Setelah berbuka puasa dan beristirahat sejenak, menjelang waktu Isya, jalanan mulai ramai oleh warga yang berangkat ke masjid untuk melaksanakan salat tarawih. Dari anak-anak hingga orang tua, semua berbondong-bondong membawa sajadah dan berjalan bersama menuju tempat ibadah.

Di sekitar masjid, suasana terasa hangat dan penuh keakraban. Beberapa orang terlihat saling menyapa, bertanya kabar, dan berbincang ringan sebelum adzan dikumandangkan. Anak-anak kecil, seperti biasa, menjadi yang paling bersemangat. Anak laki-laki sibuk bermain petasan di halaman dan pinggir jalan, suara letupan kecil bersahutan membuat suasana semakin ramai.

Namun, keseruan mereka tidak berlangsung lama. Tiba-tiba terdengar suara ibu-ibu yang keluar dari rumah dan menegur mereka dengan nada kesal, “Aduh, berisik banget! Udah mau tarawih malah main petasan!” Anak-anak yang tadinya asyik langsung kabur sambil cekikikan, ada yang buru-buru menyembunyikan petasannya di saku. Meskipun begitu, beberapa menit kemudian mereka pasti kembali dan mulai menyalakan petasan diam-diam, berharap tidak ketahuan lagi.

Sementara itu, anak-anak perempuan punya kesibukan sendiri. Sebelum adzan berkumandang, mereka sudah lebih dulu datang ke masjid untuk menyimpan mukena di tempat favorit mereka. Biar tidak keduluan orang lain, mereka buru-buru memilih saf terbaik dan menaruh mukena di sana. Setelah urusan tempat salat beres, mereka biasanya mampir ke warung kecil di dekat masjid untuk jajan. Mulai dari permen, ciki-ciki, hingga seblak yang dijual di warung, mereka beli untuk camilan sambil menunggu waktu salat dimulai. Kadang, ada yang saling tukar makanan atau iseng menggoda teman yang makan terlalu lahap.

Saat adzan Isya berkumandang, suasana mulai berubah. Anak-anak perempuan yang tadi sibuk jajan langsung mengenakan mukena mereka, sementara anak-anak laki-laki bergegas masuk setelah puas bermain petasan. Saat imam mulai mengimami salat tarawih, suasana berubah menjadi lebih khusyuk. Suara imam yang melantunkan ayat suci Al-Qur’an menggema di dalam masjid, menciptakan ketenangan yang khas di bulan Ramadan. Meski rakaatnya lebih banyak dibandingkan salat biasa, semangat warga kampung tetap tinggi untuk menyelesaikan tarawih hingga witir bersama.

Setelah selesai, jamaah saling bersalaman dan mengobrol sebentar sebelum pulang. Ada yang langsung pulang ke rumah, ada juga yang mampir ke warung untuk membeli camilan atau minuman dingin. Namun, keseruan belum berakhir, terutama bagi anak-anak laki-laki yang masih penuh energi. Mereka berlarian ke arah bedug kecil di masjid dan mulai memukulnya dengan antusias. Suara “dum dum dum” menggema di malam Ramadan, menciptakan suasana khas yang selalu terasa hangat dan menyenangkan.

Namun, keseruan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa warga yang rumahnya dekat masjid mulai merasa terganggu karena ingin beristirahat. Tak lama kemudian, terdengar suara bapak-bapak yang baru saja keluar dari masjid menegur, “Udah-udah, jangan dipukul terus! Orang-orang mau istirahat!” Anak-anak pun langsung berhenti sejenak, saling pandang, lalu tertawa kecil sebelum akhirnya benar-benar membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing.

Ramadan di kampungku selalu memberikan kenangan yang tak tergantikan—suasana kebersamaan, keceriaan, dan ketenangan yang hanya bisa dirasakan di bulan suci ini.